• K B B T ..komunitas baca-baca di taman

    berawal pada 1 September 2012 membaca di ruang terbuka sambil menatap langit malam [...]

  • mau pintar kenapa mesti bayar !!

    | bawa buku buka dan baca di taman | MAU PINTAR KENAPA MESTI BAYAR!! |Mengenalkan anak pada dunia buku pada hakikatnya adalah mengantarkan anak ke dunia luas yang indah dan memberanikan ..buku adalah taman indah tak berpagar [...]

  • KUDETA ..kumpul dengan teman

    berkumpul di ruang publik salah satunya di taman dan membaca, berdiskusi, bernyanyi,puis berekpersi #TEMEN ..taman ekspresi menteng bisa nge #BIR ..bincang ringan atau pun #MIRAS ..mikir keras dan tak lupa baca puisi di taman dengan iringan musik yang sederhana #MEDIKA ..merdekakan diri kita dari ketidaktahuan dengan membaca buku.556591 [...]

  • Baca-Baca di Taman

    “apa yang sudah dibaca Kartini digenggamnya terus di dalam tangannya, dan ikut memperkuat moralnya” ~ Pramoedya Ananta Toer | twitter @ bacaditaman

  • Baca-Baca di Taman

    “Buku itu seperti taman, Yang bisa dimasukkan ke dalam kantong. ” [Pepatah Tiongkok]

|Bawa Buku,Buka dan Baca di Taman| Mau Pintar Kenapa Mesti Bayar!!

Rabu, 07 Maret 2018

Baca-Baca Asyik di Taman



Sabtu minggu lalu, saya pergi ke sebuah taman di pusat kota Jakarta. Kehadiran taman kota di Jakarta memang menjadi kebutuhan dan sejak beberapa tahun lalu pemerintah daerah DKI Jakarta mewujudkan kebutuhan warga ini, jadilah taman semakin eksis di kalangan masyarakat ibu kota. Menurut saya taman sudah beralih fungsi, bukan hanya sekedar untuk ditanami pohon-pohon agar terlihat lebih hijau. Semakin beragam aktivitas yang dilakukan warga, tidak hanya sebatas nongkrong, tempat baby sitter nyuapin anak-anak asuhannya, dan jalan-jalan sore. Banyak komunitas saat ini menggunakan taman untuk melakukan kegiatan positif mereka, salah satu taman kota yang sering disambangi oleh berbagai komunitas adalah Taman Menteng, yang terletak di Menteng, Jakarta Pusat.

Malam itu saya sudah ingin kembali ke rumah, ketika langkah saya terhenti dan memutuskan untuk berjalan kembali. Saya melihat ada tumpukan buku dan majalah yang diletakkan di atas kain berwarna merah-hitam. Sederhana penampilannya, tapi mampu menarik perhatian saya. Sedikit berbincang dengan teman-teman yang berada disitu, saya akhirnya tahu mereka adalah Komunitas Baca di Taman. Usut punya usut, mereka memiliki hobi yang sama, membaca, dan ingin memanfaatkan ruang publik; intinya mereka ingin memasyarakatkan membaca. Wah, saya baru tahu ada komunitas unik yang sesuai dengan hobi saya seperti mereka! Saya pun mencoba membaca buku-buku yang mereka bawa, merasa buku membutuhkan waktu lebih lama untuk dibaca (karena saat itu saya harus pulang), saya mengambil salah satu edisi majalah. Tertulis di sampul depannya: KOMAZINE, bukan majalah komersil. Saya penasaran dengan isinya. Benar dugaan saya, seru! Tidak jauh dari perbincangan-perbincangan filosofis dan (saat itu yang saya baca) menyangkut kapitalisme. Coba semua orang bisa baca hehe.

Komunitas ini selalu ada di Taman Menteng (dekat rumah kaca) setiap akhir pekan, biasanya mulai pukul 18.00 atau 19.00. Agenda yang ada antara lain diskusi buku ringan, akustikan, dll. Ah seru juga bisa bertemu dengan komunitas ini. Mungkin lain waktu saya bisa mampir kembali 🙂
P.S: Jika ingin mengenal mereka lebih dekat, coba hubungi melalui twitter mereka di @bacaditaman.

https://ireneswastiwi.wordpress.com/2014/05/22/baca-baca-asyik-di-taman/#more-508

Jumat, 04 Maret 2016

OASE di ANTARA PILAR KOTA.

Jurnal DAAI, Episode 437 : OASE di ANTARA PILAR KOTA.
Keberadaan taman penting artinya bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat khususnya di perkotaan. Taman tidak hanya sekedar memberi ruang penghijauan atau fungsi ekologis, tetapi juga sebagai sarana edukasi, sosial, kreasi dan rekreasi. Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, Ruang Terbuka Hijau yang dianggap layak untuk sebuah kota, haruslah berjumlah sekitar 30 persen dari total luas lahan kota tersebut. Di Jakarta, hal itu sulit dilakukan.
Berapa rata-rata maksimal kemampuan pemerintah provinsi DKI untuk menambah taman kota sampai dengan 15 tahun terakhir ini?

Komunitas Baca Baca di Taman Ulang Tahun Ke II

Komunitas Baca Baca di Taman - IMS

Selasa, 14 Juli 2015

Taman Kota Milik Kita

RUANG TERBUKA
Kota adalah ruang yang selalu tumbuh. Celakanya, pertumbuhan kota sering kali berjalan liar, mengabaikan kebutuhan dasar penghuninya, termasuk kebutuhan pada ruang terbuka. Kaum muda, sebagai bagian dari masyarakat, cenderung ditinggal oleh arus perubahan itu. Namun, selalu ada cara untuk menyiasatinya.
komunitas baca-baca di taman doc.KBBT-azis

Pandangan itu dilontarkan oleh pemerhati kota, Marco Kusumawijaya, dalam tulisannya mengenai album musik Dosa, Kota, & Kenangan (2015) yang dibuat oleh kelompok Silampukau asal Surabaya. Marco menulis ”Mereka (kaum muda) sering kalah (oleh perubahan kota), misalnya dalam perebutan ruang, bahkan untuk kegiatan yang sepele seperti bermain bola”.
Salah satu lagu dalam album itu adalah ”Bola Raya”. Dalam kalimat lugas, duo Kharis Junandharu dan Eki Tresnowening itu menceritakan, mereka bermain bola di jalan raya tak memedulikan cemoohan orang. ”Kami rindu lapangan yang hijau. Harus sewa dengan harga tak terjangkau. Tanah lapang berganti gedung. Mereka ambil untung, kami yang buntung”. Demikian lirik lagu itu.
Gedung yang dimaksud dalam lagu itu bisa termasuk pusat perbelanjaan. Tak bisa dimungkiri memang, pusat perbelanjaan atau mal menyediakan ruang untuk perjumpaan. Namun, untuk bisa memanfaatkannya, ada syarat ini-itu. Katakan saja, untuk bisa duduk-duduk bercengkerama dengan kawan lama, orang harus jajan terlebih dulu. Untuk berolahraga, tentu harus menyewa fasilitasnya.
Taman di perkotaan sudah semestinya kembali berperan sebagai tempat berkumpul yang egaliter. Semua golongan berbagai usia bisa berkumpul atau sekadar asyik menikmati kesendirian sambil membaca buku, misalnya. Memang ada juga sisi komersial yang menyusup di taman itu, seperti para pedagang asongan. Namun, menyisihkan uang sedikit untuk pedagang kecil seperti mereka pun tak ada ruginya. Sepiring ketoprak, misalnya, bisa disantap dengan membayar Rp 10.000 saja.
Dalam beberapa tahun terakhir, warga Jakarta sudah mulai mendatangi kembali taman-taman yang ada. Beberapa taman yang ramai setiap sore adalah Taman Surapati dan Taman Ayodya. Beragam sekali kegiatan di sana. Banyak yang bergerombol duduk-duduk, ada yang berlari kecil mengitari taman mencari keringat, ada yang berkesenian.
Satria Fajar (24) mengunjungi Taman Surapati pada Minggu pekan lalu. Ia terlihat asyik menggambar pepohonan dan patung yang ada di taman itu menjelang berbuka puasa. Sayup terdengar alunan musik keroncong yang dimainkan beberapa kelompok dari sisi barat taman.
Satria hobi menggambar. Ia tak hanya menggambar di taman. Namun, menggambar di taman memberinya energi tambahan. ”Inspirasi untuk gambar biasanya bermunculan kalau di taman. Musik yang ada di sini tidak mengganggu konsentrasi saya, tapi justru memunculkan inspirasi baru,” katanya.
Di sudut lain ada juga sekelompok anak muda yang serius berdiskusi. Mereka sedang membahas proyek pertunjukan.
baca di bangku taman doc.uu

bir bincang ringan docKBBT_agoes
Warga mengisi waktu libur dengan bermain dan bercengkerama di Taman Ayodya, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu (atas). Warga berolahraga di Taman Suropati, Jakarta Pusat. Taman menjadi oase, tempat berlibur dan berolahraga murah bagi warga.
”Bertemu di kampus sudah terlalu sering dan bosan. Di taman ini, suasananya baru dan sejuk, banyak pepohonan. Obrolan biasanya jadi lebih cair,” kata Ida Lutfianti (22).
Miras dan bir
baca di taman depan rumah kaca doc.KBBT_windu

baca-baca di taman acara BUS beras utk semua doc,KBH

Aktivitas asyik lain juga ada di Taman Menteng. Komunitas Baca-Baca di Taman (KBBT) hampir setiap Sabtu malam menggelar lapak di depan rumah kaca di taman itu. Mereka mempersilakan siapa saja untuk datang, buka buku, dan membaca. Boleh juga membawa sendiri. Selain itu, mereka juga sering menggelar diskusi.
”Ada acara Miras, akronim dari mikir keras, dan Bir atau bincang ringan. Di acara Miras itu, kami pernah kedatangan penulis Heri Latief. Kami lantas berdiskusi soal karyanya dan bergantian membacakan puisi, siapa pun yang punya karya,” kata Agus (26), salah seorang pegiat komunitas itu.
Menurut Agus, kegiatan membaca di taman adalah bentuk pendobrakan stereotip. Membaca bukanlah kemewahan bagi golongan yang bisa membeli buku dan punya ruang pribadi. Di taman, tempat berkumpulnya bermacam-macam orang, aktivitas membaca berwujud sebagai kegiatan egaliter.
Selain buku, lapak mereka juga diisi dengan sejumlah edisi zine, buklet buatan sendiri yang diperbanyak dengan cara fotokopi. Komunitas itu, kata Agus, juga membuat zine sendiri dengan penulis dari sesama mereka, termasuk Agus. Mereka sangat terbuka untuk tukar-menukar zine dengan komunitas atau orang yang punya zine.
Kota Bandung, Jawa Barat, dengan julukannya sebagai ”Parijs van Java” punya banyak taman juga. Pemerintah kota itu bahkan merancang setiap taman tersebut dengan fungsi khusus, seperti taman untuk mengajak jalan-jalan binatang peliharaan, taman untuk berolah kebugaran, dan taman untuk menonton film.
Taman Film, demikian namanya, terletak di bawah Jembatan Pasupati, ikon kota. Di salah satu tiang jembatan itu ada layar berukuran besar. Pengunjung bisa menikmati film yang ditayangkan atau sekadar menonton siaran langsung pertandingan klub sepak bola kebanggaan mereka.
Konon, kawasan Taman Sari itu dulunya adalah tempat ”jin buang anak”, kumuh, dan tidak nyaman. Sekarang, banyak pembuat film yang berusaha menampilkan karya mereka di sana. Para pembuat film independen di Bandung mendapat tempat untuk mempertontonkan karya. Hal itu bisa menambah semangat baru bagi talenta kreatif di bidang perfilman.
Pemerintah, sebagai pembuat kebijakan, punya dana sehingga sudah selayaknya memperbanyak taman dan fasilitas penunjang, seperti lampu, tempat sampah, serta petugas kebersihan dan keamanan. Jika sudah demikian, warga bertanggung jawab menghidupi taman itu dengan berbagai kegiatan. Jadi, main-mainlah ke taman. Siapa tahu kalian bisa dapat inspirasi untuk menjalani kehidupanmu. Jangan lupa untuk membuang sampahmu pada tempatnya.
(HEI)

http://print.kompas.com/baca/2015/07/14/RUANG-TERBUKA-Taman-Kota-Milik-Kita

Rabu, 08 Juli 2015

KBBT (komunitas baca-baca di taman)

baca-baca di depan rumah kaca tameng KBBT_rahmad
“Kami berkumpul di Bundaran HI dan membaca di sana. Kami pernah didatangi aparat karena dicurigai apa yang kami jajakan, tapi nyatanya ‘kan kami menjajakan buku, bukan benda mencurigakan. Pertemuan keempat baru pindah ke Taman Menteng karena lebih nyaman”, timpal mereka. “Pertimbangan lain, di taman banyak pohon sehingga lebih sehat. Ternyata lebih asik membaca di taman karena bebas polusi dan tidak berisik”.

klik: wawancara KBBT dengan ruru radio dengan tema taman kota
http://jalan-tikus.org/wp/?page_id=56


Jumat, 03 Juli 2015

Kumpulnya Tuh di Sini, di Taman

baca-baca di taman akustikan doc.KBBT_windu

Ruang terbuka hijau pilihan bagi komunitas di Jakarta untuk bertemu, menyalurkan hobi sekaligus rekreasi.

Pendopo kecil Taman Suropati minggu siang terisi penuh. Tiga puluhan pengunjung memadati bangunan terbuka itu, awal Desember lalu. Ada yang berdiri, yang duduk juga ada. Hujan membuat mereka berdempetan dan bercengkrama. Rumput taman, batu akik, kopi dan masih banyak hal lainnya menjadi tema bicara. Beberapa terlihat saling berkenalan di taman yang ada di Jakarta Pusat ini.

Di antara mereka ada seorang lelaki memegang dua kantong plastik besar. Terlihat ada beberapa gulungan kertas, kuas dan cat air. Dia bercengkrama dengan lelaki lain yang kompak memakai kaos abu-abu bertuliskan Sketch Alcoholic. “Kita dari komunitas gambar. Namanya Sketch Alcoholic,” ujar Agus Junawan, salah satunya.

Lelaki 45 tahun itu menjelaskan Sketch Alcoholic adalah komunitas terdiri dari penghobi gambar sketsa. Komunitas yang berdiri 2010 ini mempunyai sekitar 1.000 anggota di seluruh Indonesia, 600 di antaranya ada di Jakarta. Awal mula komunitas terjalin di facebook. Mereka membuat grup dan saling unggah karya. Lalu kopi darat di beberapa tempat, termasuk di taman kota. Mereka pernah berkumpul di kebun binatang Ragunan, Taman Mini Indonesia Indah, kawasan Kota Tua dan taman Suropati. Jadwal ketemuan di taman Suropati adalah hari minggu pertama setiap awal bulan.
“Kumpulnya tuh di sini, di taman dari jam 8 pagi sampai 12 siang,” kata Agus yang tinggal, Jakarta Timur itu.

Ia menjelaskan selain untuk kumpul-kumpul, mereka juga melayani jika ada yang minta digambar. Sketch Alcoholic tak segan berbagi ilmu. “Hari ini ikut kopi darat ada tujuh orang. Ada juga dua anak yang ikut belajar,” jelas Agus yang mengajak istri dan putri kecilnya itu.

Taman mereka pilih karena nyaman dan kondusif. Selain gratis, mereka bisa menikmati suasana sejuk berhawa segar sekalian rekreasi bersama keluarga. Taman kota, menurut Agus, selain memperindah juga berfungsi sebagai tempat olahraga, rekreasi, bermain-main juga belajar. Cocok untuk menghilangkan kepenatan di tengah kesibukan sehari-hari. “Sehari saja di taman sudah segar. Refreshing otak,” katanya.

Saat ini kegiatan kumpul di taman bagi orang-orang sehobi mulai merebak. Sudah mulai ada kesadaran, karena berkumpul dan berlajar di tempat terbuka itu mengasyikkan. Contohnya, di Taman Suropati ada komunitas musik, komunitas pecinta reptil, komunitas Taman Suropati Chambers dan lainnya. Sayangnya, menurut jumlah taman dan ruang terbuka hijau di Ibukota masih kurang. “Kita butuh tempat berpijak ruang terbuka hijau,” jelas lelaki kelahiran Subang itu, sambil berpamitan karena hujan sudah reda.

Di saat yang sama, beberapa anak dan pemuda yang tadi juga ikut berdempetan di pendopo, saat itu telah sibuk dengan biola masing-masing. Di lapangan sebelah barat taman, mereka duduk berkelompok, tiga sampai tujuh orang. Mereka dari komunitas musik Taman Suropati Chambers atau TSC yang menggesek biola setiap hari minggu dari pukul sepuluh pagi sampai dua siang.
Komunitas sejak 2007 ini fokus pada biola, meskipun ada juga yang belajar cello ataupun flute. “Sesuai keahlian saya, yaitu di biola,” ujar Ages Dwiharso, pendiri TSC.

Lulusan Sekolah Pendidikan Guru Van Lith, Magelang ini awalnya ingin mendirikan sekolah musik tapi tidak ada biaya. Saat itu pemerintah banyak menertibkan pengamen jalanan yang dianggap “menggangu” ketertiban umum. Ages menawarkan konsep bermain musik di taman kepada para pengamen. “Barangkali mereka tidak di jalan lagi, bisa jadi guru musik atau pemain biola profesional,” kata guru musik dan arrangger orchestra itu.

Saat ini pegiat komunitas TSC sekitar 400 orang. Mereka telah diundang mengisi acara ke berbagai tempat untuk mengisi acara dan dua kali diundang ke Istana Merdeka. “Besok diundang Pak Ahok ke Balaikota untuk mengiringi makam malam. Saya ajak 12 anggota yang mahir,” jelas Ages.
Kini, komunitas TSC malah menjadi incaran para orang tua untuk anaknya berlatih biola. Untuk membantu kelancaran kegiatan TSC, seperti untuk fotokopi bahan ajar, transportasi dan biaya lain terkait kegiatan komunitas, para orang tua itu saweran 200 ribu rupiah sebulan. “Segratis-gratisnya kegiatan tak mungkin tanpa biaya. Awalnya pakai uang saya sendiri, sekarang terbantu dengan saweran itu,” ujarnya. Namun, tak semua ikut saweran, bagi yang tak mampu bisa gratis. “Pakai subsidi silang,” kata lelaki 44 tahun itu.

Konsep komunitas musik di taman dipilih Ages karena ingin memberi opsi kegiatan di hari libur, selain jalan-jalan ke mall. Konsepnya adalah rekreatif, edukatif dan kreatif. Rekreasi dengan bermain di taman. Edukasi dengan memberikan pendidikan, bukan hanya bermusik, tapi juga cara bersosialisasi, bekerjasama, pembentukan karakter, taat aturan dan hidup dalam masyarakat majemuk. Kreatif, menjadikan taman kota sebagai ruang bermusik. Musiknya dinikmati pengunjung, kegiatannya menjadi obyek fotografi. Tak salah Museum Rekor Indonesia (MURI) memberi TSC sertifikat komunitas musik taman pertama di Indonesia.

Salah satu petugas pengelola taman Suropati, sebut saja pak Jono, membenarkan bahwa selain pengunjung pribadi, ada beberapa komunitas yang berkegiatan di taman Suropati. Ada komunitas musik biola, musik band, musik reggae, pecinta reptil,  yoga, tari-senam, skesta, fotografi dan lainnya. “Sejauh ini positif. Di sini terbuka untuk komunitas apa saja. Kalau komunitasnya baru, harus membuat surat pemberitahuan ke Dinas Pertamanan DKI Jakarta,” katanya.

Sementara di Taman Menteng ada Komunitas Baca-Baca di Taman. Edwarnov alias UK, pegiat dari komunitas ini mengatakan, mereka berkumpul di Taman Menteng setiap Sabtu, jam 8-10 malam. Mereka membaca buku, sastra, majalah, baca puisi dan diskusi. Komunitas yang didirikan September 2012 ini juga membuat terbitan komunitas dan blog. “Anggotanya keluar masuk, tapi pas kopi darat bisa sampai 50 sampai 100an yang datang,” katanya.
baca-baca di taman menteng doc.KBBT_aziz

Edwarnov mengaku belakangan ini mereka kurang nyaman karena lampu taman sering mati. Ia berharap, Taman Menteng diberi penerangan yang cukup agar tidak dijadikan tempat mesum dan rawan kriminalitas. “Kalau bisa ada fasilitas wifi karena ada banyak komunitas, seperti fotografi, sepeda, dan parkour,” katanya.

Taman atau ruang terbuka hijau di Jakarta terhitung masih minim. Saat ini jumlahnya sekitar 10 persen dari luas wilayah Jakarta. Padahal, merujuk pada Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, setiap kota seharusnya menyisihkan minimal 30 persen dari luas wilayah untuk ruang terbuka hijau (RTH).

Menyenangkan kumpul bersama teman sehobi di taman. Menikmati udara segar, melepas penat dan menyaksikan hiburan. Nah, jika Anda punya komunitas, maka tak ada salahnya janjian di taman. Selamat mencoba.

Agus Hariyanto

http://www.energiview.co.id/2015/02/25/kumpulnya-tuh-di-sini-di-taman/

Rabu, 01 Juli 2015

baca-baca di taman dua tahun

 
dua tahun baca-baca di taman doc.KBBT_Uu
Sabtu, 6 September 2015

Satu-satu daun berguguran, jatuh ke bumi dimakan usia, tak terdengar tangis, tak terdengar tawa redalah reda.
Satu-satu tunas muda bersemi mengisi hidup gantikan yang tua, tak terdengar tangis, tak terdengar tawa redalah reda”.

                Mungkin untuk penggemar musik sudah enggak asing lagi sama sepotong lirik ini khususnya untuk para fans/penggemar nya yang tergabung dalam Fals mania dan OI bersatulah (OI: Orang Indonesia) sudah pasti tahu lagu satu-satu yang diciptakan dan dinyanyikan oleh Iwan Fals yang menggambarkan sebuah putaran/siklus kehidupan (kelahiran dan kematian), ngemeng-ngemeng alias ngomong-ngomong soal kelahiran khususnya kelahiran anak manusia sudah pasti membawa kebahagiaan untuk keluarganya terutama Ibu dan Bapaknya, sampai saat ini umunya momen kelahiran selalu dirayakan dengan kegembiraan, pesta besar-besaran kecuali untuk keluarga yang ekonomi menengah kebawah, jangankan untuk merayakan ultah nyari makan aja empot-empotan alias susah sampe harus banting tulang, peras keringat, kaki jadi kepala-kepala jadi kaki, waduh lebay amat sih. Amat saja enggak lebay. Ya tapi emang begitu keadaanya, tapi ada juga yang mau merayakanya dengan mengajak lingkungan yang kurang mampu untuk berbagi kebahagiaan yang sama.

“cekkk....cekkkk....cekkkk” sambil menggelengkan kepala
 “ema berat hidup ini di Negara Dunia ke-3 (Indonesia), Cuma katanya doank negaranya kaya raya dengan budaya, tambang, hutan, sawah, kebun, DLL.”
“tapi ....yaaaa semua Cuma dongeng belaka, buat pengantar lelap si Buyung”
“hummm...hummmm..............huszzzz..huszzzz” menarik nafas panjang dan menghembuskanya lagi, kapan yaaaa bisa terealisasi/terlaksanakanya pasal 33 dan sila ke-5 dari Pancasila.

                Mulai dari bundaran HI dengan menggelar beberapa zine buatan Komazine lalu pindah ke Taman Menteng yang dulu bekas stadion menteng tempat berlatihnya Tim Persija tim sepakbola kesayangan masyarakat kota Jakarta, enggak terasa juga sudah 2 tahun KBBT sedikit mengisi kekosongan ruang publik yang sudah jarang dimanfaatkan dan dihidupkan dengan suatu hal yang positif, karena image/stereotip yang melekat pada taman. Taman itu tempat mesum, tempat nonkrong anak muda buat mabok, Khususnya untuk Taman Menteng yang mempunyai image negatif sedikit-sedikit bergeser mendapatkan image positif karena beberapa kegiatan positif para komunitas, ada komunitas Parkur, Skate, Basket, Futsal, Safel, Sepeda, Penggemar Hewan, Buku, DLL.
 
baca di taman menteng doc.KBBT_azis
                KBBT yang berkegiatan Membaca, diskusi, menulis & bermusik walaupun masih tahapan belajar karena umurnya yang masih belia, perjalanan yang masih diusia belianya enggak semulus yang diperkirakan orang-orang yang belum mengenal baik komunitas ini, dari sedikit gesekan dengan kru PH (Produktion House) karena rebutan lokasi/tempat, sampai aparat keamanan yang tidak suka menanyakan izin berkegiatan, kenapa dibilang enggak suka kenapa di tanya izin pas udah beberapa bulan jalanya kegiatan KBBT, mungkin khilaf kalee yaa. Emang bener kata Slamet yang diperankan Dono di salah satu film Warkop DKI, “Jakarta kota keras, siapa yang enggak kuat bakal tergilas” yaaaaa kurang lebih begitulah kutipan dari si Slamet anak juragan tembakau terkaya di kampungnya, yang kemungkinan sebentar lagi jatuh miskin karena pemerintah mendukung kampaye anti kretek yang merupakan titipan dari pemodal asing untuk menghancurkan Industri dalam negri khususnya rokok kretek, yaaa begitulah sistem kapitalisme, kapitalis besar mencaplok kapitalis kecil untuk mempertahankan hidup si kapitalis besar, udah sperti hukum rimba aja yang kuat memakan yang lemah emang enggak beradab. Di perayaan Ultah KBBT ke-2 dengan tema “Menjalin Persatuan dan Mempererat Persaudaraan “ dan enggak lupa dengan slogannya “Mau Pintar Kenapa Harus Bayar”. Banyak dari kawan-kawan yang hadir dari komunitas maupun individu yang hadir diperayaan ultah KBBT ke-2 setiap dari masing-masing komunitas dan individu ikut mengisi acara bisa berupa musik, puisi DLL.
akustikan di baca di taman menteng doc.KBBT_uu

                Pembukaanya diawali dengan dendangan musik dari Jibal dan kawan-kawanya, langsung dilanjutkan dengan pembacaan puisi dari Agoes salah satu penggiat di KBBT , puisi yang dibawakan hasilkarya dari om Heri Latif sastrawan Indonesia yang tinggal di Belanda yang aktif di Lembaga Sastra Pembebasan, tapi yang paling istimewa kedatangan dari kawan-kawan Bizink yang jauh-jauh dari Tegal mengorbankan waktunya untuk suport ke acara 2 tahun KBBT, Bizink memeriahkan 



baca di taman menteng doc.KBBT_agoes



Taman Menteng yang semakin malam semakin hangat dengan susana kebersamaan dengan mendendangkan beberapa lagu ciptaan mereka sendiri dan enggak mau kalah salah satu anggotanya si Petruk ikut menambah kehangatan dengan pembacaan puisi hasil karyanya sendiri, oh iya Aep anggota dari Formasi (Forum Mahasiswa Isip) ikut berpuisi ria  dengan begitu menjiwai puisi yang dibawakanya membuat tamu yang hadir melihat kagum atas penampilan Aep. Termasuk Mbak Tari yang membawakan lagu yang berjudul tegakkan pasal 33 hasil ciptaanya sendiri isinya tentang keadilan untuk rakyat Indonesia dibidang Ekonomi dan Sosial ikut kagum melihat penampilan dari Aep. Tetapi ada sedikit kekecewaan dari anggota KBBT karena salah satu kawan dari Utara (Bgenk) yang selalu setia datang untuk mensuport diacara rutinan di Rumah Kaca enggak bisa hadir di acara 2th KBBT, kalo kata kawan-kawan menteng dia itu Sid Vicious nya KBH (komunitas Bendera Hitam) tapi kekecewaan bisa diobati dengan penampilan dari The Gags band Punk dari KBH yang waktu itu penampilanya diisi sama Mely Puke, Aji, Doyox, dkk sory yang enggak disebut namanya agak lupa. Rutot (Rusak Total) dari Amatir Noise juga enggak mau ketinggalan memeriahkan Taman Menteng, makasih yaaaa om Bejo, dkk jangan kapok yaaaa,  yaaaaaaaa tentu ajaa  Infus KBBT menambah panas suasana, band yang belum lama dibentuk yang isinya anggota dari KBBT membawakan lagu “Dasarnya Merdeka”  karena manusia itu memang dasarnya sudah merdeka.
 
depan rumah kaca KBBT_agoes
                Ada sedikit yang lucu dari acara yang sedang berlangsung didepan Rumah Kaca ada band orkes dari Rawamangun yang sudah hadir tapi pas dipanggil untuk tampil, mereka konfirmasi kepanitia buat ngebatalin tampil, alasanya peralatan musik yang dibawa elektrik, memang keterbatasan diacara 2th KBBT itu tidak memakai panggung & menggunakan peralatan seadanya, karena menurut kami semua tempat itu bisa dijadikan panggung & tetap bisa berkarya dengan alat seadanya. Marbucek yang sudah beberapakali hadir diacara rutinan ikut suport di malam itu, melihat semua penampilan, penampilan Marbucek yang paling gokil tapi penampilan dari kawan-kawan Sumenep (Tosari) yang paling berkesan, bukan Cuma penampilan dan lagunya yang berkesan, tapi histori/sejarah antara anggota KBBT dan Kawan-kawan dari Sumenep aksi bareng dikedutaan besar Rusia menentang pencekalan kebebasan berexpresi yang dilakukan presiden Rusia Vladimir Putin ditahun 2012 dengan menangkap para personel Pussy Riot (band punk rock wanita asal Rusia) dengan alasan melecehkan tempat ibadah dan negara, Menurut Putin aksi Band Pussy Riot yang bernyayi didalam gereja itu merupakan pelecehan tehadap tempat ibadah dan isi lagunya dianggap mengganggu stabilitas pemerintahaan Putin, yang isi lagunya merupakan kritik terhadap pemerintahan Putin. 
 
akustikan baca di taman doc.KBBT_uU
                Ada dari beberapa tamu yang pertamakali hadir diacara KBBT yang berkegiatan didepan Rumah Kaca (Ikonnya Taman Menteng) agak sedikit bingung dengan keaneka ragaman orang-orang yang hadir, emang keanekaragaman Cuma dimiliki flora & fauna dan Cuma mereka doank yang perlu dilindungi, masyarakat Indonesia yang bebeda-beda jua harus dipelihara bahkan dibudayakan, coba inget semboyan negara kita yang digenggam erat kedua kaki sang Garuda (Bhineka Tunggal Ika), sekarangkan bukan zamannya Suharto yang fasis, selalu menyeragamkan dan bertindak dengan otoriter untuk kepentingan pemodal Asing. Ada juga yang menganggap KBBT itu Nasionalis atau mungkin Anarkis atau bahkan Sosialis asal jangan Fasis aja bisa berabe urusanya hahahahaha..., semua anggapan itu selalu ditanggapi dengan senyum lebar yang semringah, untuk apa suatu label/ klaim suatu Ideologi kalo itu Cuma sebagai label/klaim belaka enggak ada pembuktianya, jadilah pelaksana kata-kata jangan bersenbunyi dibalik kata-kata dan bahkan lebih merdu kentut ketimbang suara lantang & juga lebih wangi tahi/kotoran dari pada aroma mulut si suara lantang, karena suara lantangnya Cuma berisi retorika belaka bahkan mungkin juga lebih indah tulisan/puisi/sastra seseorang yang baru belajar menulis walaupun isinya Cuma curhat belaka tetapi dia tulus menulisnya dari hati & pikiranya, dibandingkan penulis terkenal berlabelkan sastrawan dan mendapatkan penghargaan atas tulisanya, tetapi Cuma untuk meracuni & mencemarkan pikiran pembacanya. Yang berbau Revolusioner itu yang menjual kwkwkwkwkwkwkwkwkww... itu mah bukan revolusioner tapi retorika doank… kalau kata Emak lebih enak ngomong dari pada BAB alias buang air besar & airbah kaleee banjir donk, kalau ngomong tinggal mangap aja udah jadi ngomong, kalo BAB harus copot perabotan dulu (celana/rok & CD), ngeden, sentor, bersih-bersih terus pake lagi deh perabotanya. Ribetkan apa lagi kalo enggak ada air waduh bisa berabe tuhhh.    

Agoes penggiat KBBT













Two Faces


baca-baca di taman depan rumah kaca doc.KBBT_agoes

Everything was well according to the plan: going to Pasar Santa again, having lunch in its wet section, buying used books (and Dusty Sneakers' new book!) in POST, then watching a students chamber orchestra concert. Everything was even better seen in retrospect: to be able to chat and to mock cheesy soap operas with the jocular wet market tenants, also to be able to snatch awesome classic books in cheap prices. The orchestra was good, too, albeit with some tiny, tiny disturbances. One contra bass player's chair was squeaky, the clash cymbals' sound was no longer crisp, and one cello had its strings slapped the fingerboard, producing "flappy" sounds. I'm not an expert in classical music or symphonic orchestra. Hell, I'm not an expert on anything. So they were not a big deal because the rest of the day was too delightful to fuss about small things.

What's not in the plan was this one event, the second anniversary of a reading community in Taman Menteng - a community I was just made aware of by Teddy. (And again, Nitha laughed at my cluelessness about it.) The other option after the orchestra was to watch Guardians of the Galaxy, but why watch something that you can watch later - either legally or illegally?

So off we went, after grabbing a dinner and feeling a little bit posh about ourselves.

The community literally named itself Komunitas Baca-baca di Taman (KBBT). Unlike its straightforward name, its history is rather murky for me. Teddy said that it was initiated by some ex-punk heads there. They ditched their old lives, collected some books, and invited gamins to read every Saturday night. The first three meetings were held in Bundaran HI. They switched place to Taman Menteng because it's quieter, it has more trees, and it's less polluted here, unlike the traffic-heavy Bundaran HI. The community then got bigger and attracted the non-members or everyone who happened to be there to sit and read with them. They make events with tongue-in-cheek acronyms: BiR (beer) that stands for Bincang Ringan (small talk), KuDeTa (coup d'etat) that stands for Kumpul dengan Teman (gathering with friends), and a discussion session called MiRas (liquor) that stands for Mikir Keras (thinking hard).

When Nitha and I arrived, the anniversary celebration had not started.

"Let's play swings!" she asked me. I obliged.

We walked to the northern part of Taman Menteng where the swings located. I laid my eyes to the pyramidal glass house. I've been told that KBBT usually takes place in front of it, so it's likely that their anniversary was there, too. But still, there were not so much activities in its vicinity. Amidst the couples on Saturday night dates, parents bringing their kids to play in the sandbox, cigarette-and-instant-drink-mix sellers on bikes, and some teenagers playing futsal, the glass house shone brightly, illuminated the park and its dwellers. From afar, where I sat on my swing set, it looked like the third world version of Louvre pyramid.

Taman Menteng was previously Menteng Stadium, a football stadium belonged to Persija Jakarta. In 2004, under Sutiyoso's administration, it was planned to be converted to be a park (the plan allegedly date back even further, during Surjadi Soedirdja's administration). It was very controversial. Some individuals in PSSI reacted with disdain. It even almost led to a conflict that almost disband Persija. 30 billion rupiah and almost 3 years later, it was finally open to public as a park.

Ten minutes passed. I said to Nitha, "I think they are getting started. Let's go there."

And there they were. There was this modest make-do stage in front of the glass house, on the side adjacent to Jl. H. O. S. Cokroaminoto. One man, wearing striped T-shirt and three-quarter jeans, played two-piece drum kit. The other man, a middle-aged man with glass, played guitar. He dressed in white Tshirt with batik scarf around his neck, singing some folks songs. A banner in black color is tied in trees. It said happy 2nd anniversary, signed "KBBT - Komazine". There were two other stand banners in white, beside those two guys playing music. One showed KBBT's motto: "Mau Pintar Kenapa Musti Bayar?" (why must you pay if you want to be smart?). The other: "Bawa Buku Buka dan Baca di Taman" (bring books, open and read them in the park); complete with a cartoon of bourgeoisie-looking giant boar in suits and top hat, reading book while stepping on the protesting humans to death. Red stars and the anarchists' Circle-As adorned both banners. KBBT is apparently a redemption, an educative facility for street people, a society of sharing, and a protest to despondent government all at once.



The books were laid on a mat on the terrace of glass house. We looked around. Most of the ones who came wore black T-shirts. The books were mostly Pramoedya Ananta Toer's. And surprisingly, the collection was very extensive. There were Mangir, Larasati, Arus Balik, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Perempuan dalam Cengkeraman Militer, Arok Dedes, Calon Arang, and of course, Buru Tetralogy. Among Pramoedya's books, there were several editions of zine titled Komazine scattered.

We spoke to a man who introduced himself as Uu'. His face, his long hair, and his stature reminded me of Indonesian young philosopher, Martin Suryajaya. Not that I actually ever met Martin, but his resemblance was quite conspicuous. He manages both KBBT and Komazine. He is Komazine's all-around writer, layouter, editor, and illustrator.

Komazine is an alternative zine with strong left political leaning. The name was derived from "koma" (coma), which according to them is the most apt depiction to describe this nation: in limbo, coma, neither life nor dead. Its life force has been sucked by the corporates and the corrupt governments, leaving next to nothing to the common folks. Komazine is even older than KBBT. When KBBT was born in September 1st 2012, Komazine already issued its 11th edition. It has 16 issues to date.

"How often is it usually published?"

"It's not regular. We publish it when we're able to publish. The next edition, for instance, will have to be pushed back to October due to some problems."

I held one in my hand. It dated July 2009.

Visually coarse and crudely illustrated, Komazine hosts works and writings from Uu' and his friends. There are writings about social protests, critics to government, propaganda against capitalism. There are also poems and caricatures. And what excited me somehow were the writings about Marx and Bakunin. With all the limitations these people in Komazine have, be it educations, budgets, and literature references, they succeeded in transforming themselves into political educators for other people. This autodidact, guerrilla education is very, very admirable.

I asked if I can buy this one.

"Well, I didn't bring copies with me. If you want that one we can make you a copy. We have Twitter account. Mention us the issue you want and next week we'll bring it to you."

"Do you have the one that is for sale?"

I grabbed three issues. The young man besides me took one.

"So, how do you know Teddy?" I asked.

"Oh, he just came here one night. And we just 'clicked'"

"He was with Maesy?"

"Oh, the lady? Yeah. She couldn't stand near here, though. She had trouble breathing. Those dudes were smoking. I wasn't. I don't smoke."

"She has asthma."

Beside being used to finance its future edition, the sales of Komazine are used to fund the maintenance of KBBT's books.

"Are you not afraid if these Pramoedya books are borrowed but not returned?"

"No. We have a strict policy regarding this kind of books. It must be returned in the same day."

Nitha then asked, "What happens if it rains?"

"Oh, we're gonna save the books first. We'll wrap them, make sure they're not wet. Don't care if we are soaked by the rain." 




The guys playing drum and guitar "stepped down". The birthday party was about to begin. To my surprise, one relatively new TV station also came to report. After asking Uu' for interview and for taping the event, the crew asked me and Nitha to be interviewed. Both of us declined. Nitha said to me that it's very typical for a TV station to find the photogenic ones. Apparently my blob-like appearance was camera-friendly.

"Okay, we're kinda late actually," says the MC, "most of us have gathered anyway. So let us begin!"

Like the books, the stage and its music equipments were collective good. Several people took the stage alternately. Some sang Iwan Fals songs. Some sang their own song bearing the same message of protest to government, support for the labors, and demand for social justice.

One reminded us about capitalism: "The capital is only owned by a few people!"

"Go back to Article 33!" sang one. Article 33 of Indonesian constitution is about social welfare: common endeavor based on kinship principle, ownership of sectors of production which are important for the country and affect the life of the people by the country, and utilization of Indonesian lands, waters, and natural resources contained therein for the greatest benefit of the people. The song conveyed the restlessness of the common folks seeing this nation's resources being exploited for the interests of corporates and foreign countries instead of its own people.

Mbak Tari, one of the performers that night yelled at the end of her song, "The women must fight!"

"The women must fight!" cheered the crowds back.

Socialism, feminism, anti-imperialism. What's not to like here?

One man, said to be the "director" of KBBT then gave his speech. He explained the manifesto of KBBT and its "Mau Pintar Kenapa Musti Bayar?" maxim. He said, our education has failed. He said, our education has been commodified and capitalized. He said that our government is apathetic about education, even more to the marginalized masses.

"Makan sekolahan gak bikin pinter!" (School doesn't make you smart!)

"Ya iya lah. Makan sekolah gimana bikin pinter? Makan apa lo? Bangkunya?" (Of course. How can eating school make you smart? What do you eat anyway? Its bench?) The man in batik scarf took the literal meaning of "makan" (eating) to heckle the "director." The crowds burst in cachinnations.

"Makan buku, lah!" (reading book, of course!)

"Buku apa? Buku nikah?" (what book? Marriage book?) said another. Another hearty laughter.

"Marriage has been commodified by the country!" said the batik scarf man.

"Marriage is a legalized adultery!" I said without thinking.

He conclude that KBBT is here to take back public space for public use. For better use.

"The public place is ours too!"

Next performers was Petruk. He recited one of Heri Latief's poems. After him, Uu' came to the stage and read Latief's poem from the very same book Petruk just read. I admire this community more. We live in a short-attention-span generation; the age where its youths fetishize gadgets and pop stars. This is the age where posting something on Facebook or Path is trendy, and poetry and philosophy are considered vain exercises. In the age where the refusal to learn is epidemic, who knows that our one of the beacons of classical education is in here, in this small park every Saturday night?

"The stage is all yours! If you want to perform anything, perform!"

The event continued.

"Wiro! C'mon, Wiro!"

Then one group consisting of one girl and two guys. One of them - the one wearing AC/DC T-shirt - I presumed was Wiro. They took the stage and began singing Serenada from Steven and the Coconut Treez.

Nitha and I sat on the floor. We were offered some snacks, boiled cassava, boiled banana, and oranges.

"No, thanks. We've just eaten."

I took an orange. And in a very socialistic manner, Nitha offered her Cha Cha. Some people took and shared it.

The man in batik scarf sat down near us. He introduced himself as Cibal, a member of Komunitas Kretek, a cigarette appreciation community..

"So do you know Mas Puthut?"

"Of course! We had coffee last week."

"Do you know Iqbal? Iqbal Aji Daryono?" Nitha asked.

"Yes! Do you study in Jogja?"

"Naah, I'm not. She is. In UGM."

The MC shouted, "Next, came far away from Tegal, he's gonna read a poem!" His name was Deni or Dani, I can't remember.

I whispered to Nitha, "He came far away from Tegal just to be here? Wow."

"No, you fool. He's probably from Tegal and has stay long in Jakarta." She laughed at my naivete.

Then we traded stories about our mutual friends, about Klinik Kopi in Jogja, about Komunitas Kretek and its Ekspedisi Cengkeh project, about how attractive clover was in Age of Discovery, about Magellan and Columbus.

"KomTek is not a cigarette lobbyist group. We're not from industry side. We are an appreciation group. Every May 31st, on World No Tobacco Day, we make tweets with #TerimakasihTembakau hashtag, providing counter-narrative," Mas Cibal narrated.

He then added, "KomTek Jakarta usually gather in Tebet. Do come sometime."

"I will come some time."

He went and chatted with other people. At one moment he teased a man who brought his Caucasian friend, "I love national products, not imported ones!"

They all laughed boisterously, except the Caucasian. The joke was lost in translation perhaps.
 
The musics then shifted from reggae to slow rock to bluesy-folk interchangeably. Most of them were their own songs, and the message about struggle remained the same. Two faces of music I listened that day. One was the classic that - while aurally sophisticated - was devoid from any resistance elements. It was pure art. The other one was unyielding voice of the working class. It was pure moving force. And I enjoyed both.

I looked again at the stage, at this camaraderie, at the grass root socialism in action. They have been down the street, joining the rally for the labors in Mayday. They even walked to Russian ambassador, campaigning for Pussy Riot to be released. Then I wondered whether our intellectual left ever embraced them. I never studied Marxism extensively, and I know that our lighthouse of the left in Indoprogress are doing very great jobs, but it itches me that our revolutionary movement has two faces. What can this writing, for instance, support our comrades in Komazine? It's too complicated, too abstruse, too pretentious to relate even for me, and especially for them. Mr. Ali Sastro beats me to it in his critic here. I dream that one day both of them can have discussions together. I dream that they can solidify our educational movements together instead of patronizing, or worse, becoming a left hegemony (which is an oxymoron).

For about 15 years, with not more than four people (Vasily Ignatov, Vera Zasulich, Leo Deutsch, and Pavel Axelrod), Georgi Plekhanov's early works were dedicated to write, to theorize, to polemicize, and to translate Marxist works into Russian. It was almost unheard, and it was not without critics, too. He was accused to divorce Marxism from its mass acts. But without his writings - as Ted Sprague from Militan once said - perhaps there would be no Trotsky, no Lenin, and no October 1917 Revolution. Building the intellectual and theoretical building blocks is of course necessary for a revolution in a country, especially if Marxism is still in infancy there. Without theories, a mass acts will be a bunch of reactionary agent provocateurs incapable of rhetoric, shaky in its ideology. And I am guilty of it, particularly in last presidential election. Frankly, in a hindsight, it distressed me to vote for a president whom I am actually sure that he will speak in a neoliberalese language, instead of obdurately staying in principle. But both Komazine and Indoprogress are both basically trying to educate the masses. Political education is difficult, but writing something perplexing and out-of-touch with proletarian life is not going to make it easier either. Maybe in this I am patronizing, too, but I believe that Komazine can use some supports from good folks from Indoprogress.

Uu' said the celebration would be all night long. Meanwhile, my friend chatted me to come over to Jalan Sabang and have some coffee. I asked Nitha if she's okay to have some coffee. She said yes.

Mas Cibal said, "There's this one good coffee in Cikini called Kopi Tahlil. Pekalongan style. It's made with nine spices. Nine! It's across Holland Bakery."

"Nice! Thanks for the suggestion. Will go sometimes." We excused ourselves to leave early.
 
I said to Nitha while we were walking to the parking lot, "I'm happy."

"I'm happy too," she replied while smiling, "I'm happy knowing that you have something exciting to do while I'm out of town for two weeks."

I will make sure bringing books next time.

Andreas Rossi
http://snappedguitar.blogspot.com/2014/09/two-faces.html